(Perempuan), (Feminism), Feminist, Female, and Feminine


Jangan terkecoh dengan judul di atas. Tulisan berikut ini bukanlah hasil pemikiran, apalagi penelitian, saya. Kata-kata Feminist, Female and Feminine di atas sejatinya adalah judul esainya Toril Moi. Dia adalah salah satu dari seabreg theorists yang dijadikan acuan atau perbandingan oleh penulis sebuah buku yang saya baca. Sedangkan tambahan kata (Perempuan) dan (Feminism) merupakan ide saya sendiri. Buku apakah itu? Jawabannya ada di ujung tulisan ini.

Minggu lalu saya meminjam sebuah buku seorang rekan di kampus tempat saya mengajar. Buku itu berhasil membuat saya tercengang, mengerutkan kening, dan manggut-manggut sendiri ketika otak saya yang dengan segala keterbatasannya berhasil memahami dan memersepsi apa yang dimaksud penulis buku yang saya baca itu. Sesekali saya bergumam sendiri, “Kok ada orang sampai punya pemikiran seperti itu???” orang yang saya maksud adalah para theorist di buku itu. “Kok bisa ya, dia berpikir ke arah itu?” “Kok yang kayak gitu diribetin ya?” atau “Ya udah sih, emang udah kayak gitu kali”. Kebelumtahuan saya (atau lebih tepatnya kebodohan saya) membuat saya berpikir mengapa hal itu harus sedemikian rupa dibuat rumit.

Ada baiknya saya sedikit membedah esai perdana dalam buku tersebut. Tentu saja saya berani membedahnya dan berbagi hasil “operasi nonmedis” saya di blog ini setelah saya berhasil memahami dan memersepsi informasi yang saya peroleh dari buku itu. Dan terus terang ini adalah salah satu buku yang membuat saya harus berulangkali membaca supaya mengerti/memahami maksudnya. Maklum, libur panjang membuat otak saya kekurangan nutrisi karena jarang dikasih makanan (membaca). Berikut bedahan esai pertama buku tersebut.

Esai 1 : Feminisme : Barat?
Dalam esai ini, penulis buku mengidentifikasikan bahwa feminism seringkali disalahtafsirkan sebagai berikut : Pertama, sebagai gerakan dari Barat (mungkin maksudnya Eropa), atau bahkan lebih dari itu diidentifikasikan sebagai Barat. Kedua, atau yang biasanya terus mengikuti kesalahtafsiran pertama adalah bahwa feminism merupakan gerakan perempuan yang membenci laki-laki, pengikut seks bebas dan/atau lesbian.

Kesalahan memahami feminism
Penulis buku tersebut (dan temannya) merasa perlu memberikan tekanan pada pemahaman feminism datang dari Barat (sehingga berlabel “tidak Islami”) adalah pemahaman dari orang yang memang belum mengenal feminism (halaman 19). Mereka yang belum paham menelan mentah-mentah pemahaman feminism berdasarkan atas bentuk-bentuk representasi feminism yang dimunculkan oleh media yang mereka konsumsi. Bahkan menurut penulis, sikap yang antipati dan terus-menerus mencurigai feminism, tanpa ada kesadarn untuk mencari tahu maksud dan memahaminya, menjadikan potensi paranoid terhadap feminism semakin besar.

Feminism dari Barat = Mitos
Menurut penulis, feminism dari Barat adalah mitos yang jika terus-menerus diyakini keparadoks-annya akan menghilangkan ide feminism yang justru (jika kesadaran itu ada) bisa juga lho (di)muncul(kan) dari Timur. Sederhananya, di Timur juga bisa berpotensi munculnya ide dan gerakan feminism. Hanya saja mitos itu (sedemikian rupa dibuat) begitu kuat diyakini (oleh kebanyakan orang-orang Timur) sebagai sesuatu yang hanya ada dan muncul di Barat, sementara Timur tidak mengenal feminism.
Parahnya, menurut penulis, mitos tersebut juga “berpotensi merendahkan orang atau perempuan dari Timur dengan asumsi bahwa orang/perempuan Timur tidak mampu melihat adanya ketimpangan struktur di dalam dunia yang ditinggalinya” (halaman 20).

Ketidakpahaman terhadap makna feminis, feminine, dan perempuan
Di sini, penulis buku tersebut menyebutkan bahwa perlakuan dan sikap yang salah terhadap gagasan feminism adalah sebagai akibat ketidakpahaman akan apa itu feminist, apa itu feminine dan apa itu perempuan. Penulis kemudain mengutip pendapat Toril Moi bahwa femininitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara kultural, feminism adalah posisi politis, sementara perempuan adalah karakteristik femaleness-nya (atau karakter kebetinaan) yang bersifat biologis.

Perempuan adalah label atas realitas biologis tubuh manusia yang mengalami menstruasi, dengan kemampuan melahirkan dan menyusui. Tubuh manusia adalah perempuan karena karakter “kebetinaan” yang dimilikinya. Sementara itu femininitas dan gender adalah konstruksi sosial budaya yang diciptakan manusia dan diatribusikan kepada perempuan. Nah, konstruksi sosial budaya ini bersifat fleksibel dan tidak ajeg. Bisa berubah karena sifatnya yang mutlak kontekstual, situated and located. Menurut penulis, apa yang dianggap feminine bergantung pada siapa yang mendefinisikannya, tempat orang-orang itu berada, dan apa yang telah memengaruhi mereka.

Penulis memberikan contoh sederhana yang gampang sekali saya pahami, yakni : mengalami menstruasi, berpayudara, dan mempunyai rahim kemudian melahirkan adalah takdir yang tidak bisa dinegoisasikan. Atribut-atribut kebetinaan di atas yang menjadikan seseorang manusia itu disebut perempuan. Pemikiran bahwa bekerja di luar rumah/mencari uang adalah tugas laki-laki, sementara bekerja/mengerjakan pekerjaan rumah adalah tugas perempuan adalah konstruksi femininitas atau gender dan bukan merupakan takdir. Karena pemikiran itu berasal dari manusia, maka hal tersebut tentu saja dapat dinegoisasikan (bahkan bisa berubah). Kesadaran bahwa pembagian seperti itu bukan saja tidak menguntungkan bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki dan berusaha agar konstruksii itu lebih seimbang adalah kesadaran feminis. Jadi, feminism adalah ideologi yang menyadari ketimpangan konstruksi (yang berpotensi merugikan baik perempuan ataupun laki-laki) dan kemudian mengarahkan dirinya kepada perubahan atas suatu ketimpangan.(halaman 22)
Dan yang perlu diingat adalah kesadaran yang dimaksud (seharusnya) bisa terjadi pada siapa pun, di mana pun, dengan kondisi sosial budaya yang seperti apapun. Siapa pun berarti bisa laki-laki atau perempuan. Di mana pun berarti bisa di Barat atau di Timur. Kondisi sosial budaya yang seperti apapun berarti latar belakang bukanlah pembatas mutlak feminisms.

Ya. Saya akhirnya tercerahkan dengan tulisan dalam buku itu. Dari yang tadinya hanya mengasosiasikan kata "feminism" dengan sesuatu yang diusung dan hanya muncul dari Barat, sampai mencibir dan antipati dengan segala obrolan dan diskusi (di televisi) mengenai feminism.

Tapi saya tidak sepenuhnya salah, dong. Media yang saya konsumsi juga berkontribusi dalam membentuk persepsi saya, dan mungkin jutaan pemirsa lainnya, tentang feminism. Media kita (yang notabene dari Timur) terlalu fokus membodohi pemirsanya dengan menyumpal visual dan audio kita dengan menayangkan perempuan-perempuan yang berdemo yang menolak feminism. Apalagi kemudian media membuat "realitasnya sendiri" dengan menyajikan seolah-olah feminism bertentangan dengan Islam. Realitas palsu media ini hendak melakukan pembodohan bahwa feminism itu selalu kontradiktif dengan Timur, yang sebenarnya menggiring pada satu kondisi orang Timur (dibuat) tidak pernah tahu dan tidak pernah mau memahami feminism itu sendiri.

Oya, buku yang saya baca adalah tulisan Anggraini Priyatna Prabosmoro, dengan judul Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop.




Postingan populer dari blog ini

In between : Semantics and Pragmatics

Love is that simple

Terlalu mainstream, Sekarep, Rest in peace.