Postingan

Why Muslim Women Wear Hijab_ Best Answer By Aminah Assilmi

Gambar

Be Better, not Bitter

Seberapa seringkah kita mengeluh, menyalahkan, atau bahkan menghujat sesuatu yang membuat drama hidup terasa “bitter”. Repetitif keluhan are even too bitter as if there’s nothing in our lives worth living. (Maybe that’s how the word “loser” was invented). Selama menjadi dosen di Unisma Bekasi, semester ini saya mendapat kesempatan mengajar salah seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Ya. Allah berkenan mempertemukan saya dengan seorang mahasiswa yang disabled, he is deaf. Even though, physically, he’s quite a good looking guy with white skin and sweet smile. I discovered his disability to hear, when I asked him to introduce his name and spell it. Instead of gesturing that he was unable to hear, he tried to accomplish my instruction. His utterances were not clear, and neither were his spellings. Yet, I thanked to Allah, I was able to recognize every single letter he spelled, and then I was lucky I managed to know his name throughout our unique communication. To ensure me about h

Terlalu mainstream, Sekarep, Rest in peace.

Gambar
Usianya tergolong abege, alias anak baru gede. Banyak perubahan “gaya hidup” dan “cara berkomunikasi” yang membuat saya dan suami geleng-geleng kepala. Gaya abege tapi masih polosnya lah yang kerap membuat kami tertawa. Enjoy  Terlalu mainstream Suatu sore setelah mandi, saya memperhatikan baju yang dipakai Kiki. Tidak biasanya dia memakai setelan yang nggak matching alias nggak nyambung, atasan coklat bawahan orange. Padahal kedua baju itu ada pasangannya masing-masing. “Kenapa, bu. Kok liatinnya gitu banget?” sambil menyisir rambut rupanya Kiki melihat ekspresi muka saya. “Kaos coklat itu kan ada bawahannya, Ki. Kok malah pake yang orange, sih?” ujarku sambil membuka lemari baju, mengambil pasangan kaos coklat itu. “Udah…udah, nggak apa-apa. Yang penting kan pake baju. Orang mau main ini” “Iya…tapikan nggak nyambung, Ki, nggak matching gitu” setengah memaksa saya mencoba membujuk Kiki supaya mengganti celananya. “Ngapain sih pake nyambung-nyambung. Kalo serba matc

Judge me by my shoes

Gambar
Satu lagi kisah nyata yang masih fresh. Kali ini terjadi di hari pertama semester genap ngajar di kampus. Kebetulan gedung tempat saya mengajar lokasinya lumayan jauh (bahkan kayaknya paling jauh deh) dari bangunan-bangunan yang lain yang ada di kampus. Gedung itu sendiri tidak punya tempat parkir khusus, dan jarak gedung dengan parkiran resmi di kampus juga nggak bisa dibilang dekat. Pernah kami terpaksa harus jalan kaki mengikuti peraturan supaya memarkir kendaraan di tempat parkir resmi. Alhasil sampai di gedung itu kaki saya pegel, badan keringatan, dan nafas ngos-ngosan. Katanya sih biar sehat, tapi tetep aja capek. Akhirnya melalui salah satu rekan dosen (kepala suku, begitulah...) dia mencoba bernegosiasi dengan salah satu satpam kampus yang bertugas menjaga akses dari gerbang ke area utama kampus termasuk akses menuju gedung lab bahasa. Setelah menjelaskan panjang lebar akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa kami diperbolehkan memarkir kendaraan dekat gedung tempat kami ngaj

In between : Semantics and Pragmatics

Gambar
Buku yang saya bedah (atau lebih tepatnya saya tulis ulang dalam bahasa Indonesia) kali ini berjudul Pragmatics yang ditulis oleh Jean Atilwel Peccei, 1999. Bagi saya, dan mungkin juga mereka yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak, pasti pernah punya pengalaman ketika kita mencoba berkomunikasi dengan anak-anak kita. Pengalaman itu ada yang lucu ada pula yang sampai membuat kita kesal. Permasalahan muncul ketika anak kita sepertinya sudah mengerti dan bisa merespon perkataan kita, tetapi gagal memahami maksud perkataan kita. Berikut penjelasan yang mudah-mudahan bisa mencerahkan kita sebagai orang tua sehingga kita bisa lebih bertoleransi dengan keterbatasa anak-anak kita. Antara Semantics dan Pragmatics Mari kita mulai dengan contoh kasus di bawah ini: A little boy comes in the front of the door. Mother : Wipe your feet, please. The boy removes his muddy shoes and shocks and carefully wipes his clean feet on the doormat. A father is trying to get his 3-year-old daug

Es potongnya, baaang....es potong

Selain mengajar di kampus, saya juga mengajar di sebuah SMP Negeri di dearah Tambun, tepatnya di kelas VIII. Salah satu kelas yang saya ajar adalah kelas yang berisi anak-anak super, super berisik dan gampang gaduh. Kami, para guru, kerap diingatkan oleh sang wali kelas untuk banyak bersabar dan banyak beristighfar sebelum mengajar di kelas itu. Betul juga, sih. Sebenarnya tidak semua anak-anak di kelas itu senang membuat gaduh atau berisik. Ada juga anak yang berlabel pendiam, nurut, pinter, di samping label tukang nyelutuk, tukang jalan-jalan di kelas, tukang jahil, tukang pukul, dan sederet label lainnya yang, yaaah….itulah mereka…remaja yang mungkin mereka sendiri tidak bisa menjelaskan mengapa mereka bertingkah seperti itu. Tapi, apapun dan bagaimanapun seringnya saya dibuat kesal dengan sebagian anak-anak di kelas ini, ada saja ulah mereka yang akhirnya membuat saya tertawa dan bergumam, I just love this class no matter what. Seperti siang itu, hari Rabu pekan lalu, seperti b