Terlalu mainstream, Sekarep, Rest in peace.

Usianya tergolong abege, alias anak baru gede. Banyak perubahan “gaya hidup” dan “cara berkomunikasi” yang membuat saya dan suami geleng-geleng kepala. Gaya abege tapi masih polosnya lah yang kerap membuat kami tertawa. Enjoy 




Terlalu mainstream

Suatu sore setelah mandi, saya memperhatikan baju yang dipakai Kiki. Tidak biasanya dia memakai setelan yang nggak matching alias nggak nyambung, atasan coklat bawahan orange. Padahal kedua baju itu ada pasangannya masing-masing.

“Kenapa, bu. Kok liatinnya gitu banget?” sambil menyisir rambut rupanya Kiki melihat ekspresi muka saya.

“Kaos coklat itu kan ada bawahannya, Ki. Kok malah pake yang orange, sih?” ujarku sambil membuka lemari baju, mengambil pasangan kaos coklat itu.

“Udah…udah, nggak apa-apa. Yang penting kan pake baju. Orang mau main ini”

“Iya…tapikan nggak nyambung, Ki, nggak matching gitu” setengah memaksa saya mencoba membujuk Kiki supaya mengganti celananya.

“Ngapain sih pake nyambung-nyambung. Kalo serba matching itu terlalu mainstream, bu,” jawab Kiki santai.


Pernah juga saya mendapati nilai ulangan IPAnya dapat 90. Sambil menempel kerta ulangannya di notice board, saya iseng bertanya.

“Kok tumben, Ki, nilainya 90? Emang sekarang kalo SMP susah ya dapet nilai 100?”

“Iya, 90 juga gede kali, bu. Kalo nilainya 100 terus itu terlalu mainstream,” lagi-lagi dengan gaya santai Kiki menanggapi pertanyaan saya.

Saya tidak ingat kapan persisnya Kiki akhir-akhir ini sering mengucapkan “terlalu mainstream”. Tapi semenjak ketertarikan buku bacaannya berubah, dia memang banyak berubah juga. Selidik punya selidik, rupanya Kiki begitu terpengaruh dengan tokoh Juki dalam komik Juki dan Petualangan Lulus UN. Juki, tokoh dalam komik itu selalu mengatakan “terlalu mainstream” untuk membenarkan hal-hal nyeleneh yang dia lakukan.



Baterainya sekarep.

Karena seharian dipakai main game, Kiki memberitahu saya kalau tabletnya perlu di-charged.

“Bu, kalo mau pake tablet di-charged dulu, ya. Udah sekarep tuh. Tadi Kiki pake main game.”

“Sekarep? Maksudnya?” tanya saya bingung.

“Itu lho tadi kelamaan main game, baterainya udah sekarep. Sini Kiki charged dulu, deh.”

“Sekarat….bukan sekarep,” saya mengoreksi pilihan katanya sambil tertawa.

“Iya maksudnya itu deh.”



Rest in peace ya, bu.

Siang ini sangat terik. Karena ngantuk saya memutuskan untuk tidur di kamar. Setelah menyalakan AC saya bersiap istirahat siang. Saya hampir tertidur ketika Kiki tiba-tiba masuk, dan ikutan tidur di sebelah saya. Saya ingat sore itu Kiki janjian sama teman-temannya mau latihan futsal di sekolah.

“Kiki jadi latihan futsal?”

“Jadi, dong. Ibu nggak kemana-mana, kan?”

“Enggak. Berangkat jam berapa?”

“Ntar jam 3an.”

“Hati-hati bawa motornya, ya.”

“Iya. Kiki pulangnya paling jam lima lewat. Ibu rest in peace, aja dulu.”

“Lho??? Kok rest in peace, sih?? Kataku kaget campur geli.

“Ibu kan mau istirahat, makanya rest in peace aja,” ujarnya polos.

“Kalo rest in peace itu buat orang yang udah meninggal, Ki. Artinya memang istirahat dalam damai, tapi maksudnya istirahat selamanya,” jelasku sambil tertawa.

Kiki cuma nyengir. Alhasil, saya pun batal “istirahat dalam damai” siang itu.

Postingan populer dari blog ini

Love is that simple

In between : Semantics and Pragmatics